Monday 7 May 2012

Munshi dan Budiman


Bermula disini, keinsafan yang menggerakkan hatimu
Resah yang semakin mencengkam
Dari setiap darah yang mengatur sejarah
Bangun dari setiap kajatuhan
Bergerak dari seribu arah
Membangunkan bangsamu
Dengan lidah dan kata-kata
Yang menjadi warisan bangsa

Aku, engkau, mereka yang kemudian menjadi munshi
Bagaikan pendita yang menabur benih budaya
Menyiram dengan doa membelai dengan kejujuran
Tak pernah kau catatkan
Berat derita yang kau pikul
Tak pernah kau tangiskan
Lumpur merah yang mendebarkan
Diatas tangan rumahmu
Menagih darah mempasrahkan amanah

Ada ditangan kini darah yang kau genggam
Menjadi mutiara menitiskan mebun
Dari kesetiaan menjadikan engkau lebih tabah
Menjunjung maruah mendaulatkan Negara

Aku, engkau, mereka telah menjadi Satu
Menyusun huruf mengatur kata-kata
Dengan lidah dengan segala kasih sayang
Dengan kelembutan menjadi penemuan yang mengasikkan
Antara kita dengan puteri-puteri kesayangan  semua

Kerelaan mu menyembahkan bakti menjadi survival hidupmu
Sering terlonta dalam fitnah, tercengkam dalam gelisah
Yang luka didadanya dari tikaman media
Yang tercemar dari lontaran tomahan
Tetapi engkau masih setia disini
Memikul duka membiarkan diri binasa
Bagaikan sebatang lilin di malam gelita

Hidupmu menjadi dian walaupun dihiris duka nestapa
Menatang doa dan harapan mengatur lorong kehidupan
Mewujudkan segala mimpi dengan fakta dan realiti
Mengenalkan kejujuran memperkokohkan segala amanah
Melindungi warisan mengekalkan mahkota bangsa
Yang terusik oleh sejarah dihiris oleh sengketa
Seketika kita terkaku membiarkan diri dimamah curiga
Adu domba yang mengocak ketenangan
Ada keris yang dihunus semula
Oleh seorang pejuang yang kehilangan namanya

Dari setiap seorang yang bernama budiman
Kau amat membenci segala sanjungan
Seperti seorang pendita mengembara di sebuah gurun
Menyembunyikan kesengsaraan
Menggenggam kepahitan yang tak pernah dikesalkan

Akhirnya kita membiarkan diri dengan kerelaan
Menjadi penyuluh warisan bangsa
Menunaikan amanah menyempurnakan bakti mulia
Ahmad sarju, jan 1992

No comments:

Post a Comment